Sabtu, 15 Desember 2007

curiculum vitae

Dilahirkan di tanah perdikan wangsa Syailendra, Bumisambhara, di mana berdiri tiga candi budha yakni Borobudur, Pawon, dan Mendut.

Entah bagaimana tiba-tiba aku berangkat ke Jakarta. Kelas 5 SD pada saat itu. Lulus sekolah dasarku di Depok. SMP dan SMA kurampungkan di daerah tepian metropolitan ini. Pernah juga menimba ilmu untuk jadi guru di Rawamangun. Tidak kelar. Bosan. Ingin jadi serdadu, aku banyak ragu-ragu. Ingin jadi guru tapi tak pernah bisa ditiru. Pernah ingin jadi kyai, kurasa aku sulit mengkaji. Pernah aku bercita-cita ingin jadi Kyai Semar, tapi kusadari kemustahilannya.

Tahun 1987 tiba-tiba aku menulis cerita pendek lalu dongeng anak-anak. Tulisanku banyak kusimpan. Lalu kubuang. Ada beberapa yang sempat dimuat di Bobo, Gadis, Aneka, dan Majalah HAI. Tahun itu pula aku pertama kali menulis artikel di Harian Umum Jayakarta (alm). Aku katakan Teater Remaja harus berani beroposisi kalau mau maju dan diperhitungkan. Aku dukung pendapat Sitok Srengenge yang didebat hebat oleh beberapa lawan polemiknya waktu itu. Lalu susul-menyusul telaah buku (resensi), filem, pariwisata, seni budaya, sastra, cerpen, puisi, dan entah apalagi, dimuat di Suara Pembaruan, Harian Merdeka, Media Indonesia, Harian Terbit, Kompas, Mingguan Swadesi, PELITA, Suara Karya, Harian Wawasan (Semarang), dan Bernas (Yogya).

Tahun 1989-1991 kucoba menjadi guru, tugasku berpindah-pindah (karena bosan) dari SMP satu ke lainnya, ngajar bahasa dan sastra Indonesia. Mengenai bosan ini ada sebabnya: aku sering bentrok visi dengan kepala sekolah dan guru lainnya. Pada tahun itu aku dianggap terlalu kemajon karena sudah menggunakan gaya mengajar seperti yang sekarang ini diterapkan, yakni dengan metodeku sendiri yang cenderung KBK. Begitu bell berbunyi tanda pelajaranku dimulai, anak-anak berlarian keluar dari kelas mereka. Para guru terlongo bengong. Aku di panggil kepala sekolah bahkan ketua yayasan karena membawa anak-anak keluar dari kelas. Di taman, atau di kebun belakang sekolah mereka kubagikan lembaran-lembaran puisi atau cerpen. Kubiarkan mereka membaca. Dengan suara dan gaya intonasi sesuka mereka. Tak satu pun yang aku persalahkan dari gaya mereka membaca dan meng apresiasi sastra. Toh mereka enjoy, mereka senang, mereka terbebas dari belenggu rutinitas belajar duduk di dalam kelas yang membosankan. Tapi sekali lagi aku dipersalahkan oleh guru-guru senior. Aku menjadi tidak betah, keluar! Begitu pun di sekolah lain dengan murid-murid yang lain, cara mengajarkan membuat para rekan guru geleng kepala. Mereka ada yang terganggu dengan caraku. Bisik-bisik, akhirnya aku diminta berhenti. Keluar lagi. Bosan akhirnya aku mengajar.

Tahun itu pula aku mulai bekerja sebagai editor bahasa di Penerbit Buku Alam Budaya, Jakarta. Lalu pindah jadi editor yang sama di Penerbit Cinta Media, merangkap juga di Penerbit Sanjaya, keduanya di Jakarta. Tahun 1992 aku dapat tawaran menulis cerita serial silat PENDEKAR GILA dengan menggunakan nama samaran F. Rahardja. Selama hampir tiga tahun 64 episode sempat aku tulis dan diterbitkan sebagai serial yang rutin terbit setiap minggu, diterbitkan oleh CINTA MEDIA, Jakarta. Hanya anehnya aku tak pernah berselera untuk memiliki apalgi mengoleksi buku-buku tulisanku yang sudah berselebaran di taman-taman bacaan di seluruh pelosok kota, bahkan luar negeri, karena penerbit memiliki agen di Malaysia, Brunai dan Singapura. Banyak permintaan dari jiran buku-buku fiksi Indonesia untuk konsumsi orang-orang dewek yang bekerja di sana. Tapi sedikit aku tak pernah merasa bangga dengan karya-karyaku. Buktinya setiap kali terbit dan aku memperoleh jatah buku yang jumlahnya bias sampai sepuluh eksemplar, selalu saja habis, dibawa atau dipinjam teman, saudara dan keponakan dan tak pernah kembali. Tapi aku tak pernah merasa saying atau eman-eman.

Zaman krismon tahun 1997, banyak penerbit buku kolaps, tak mampu mengatasi mahalnya kertas. Sementara itu dunia pertelevisian mulai tumbuh dan berkembang, yang bukan lambat laun melainkan begitu cepatnya mampu menggeser kecintaan anak-anak untuk terpaut dan mabok oleh acara-acaranya yang laksana candu mariyuana membikin ketagihan. Anak-anakku lupa belajar lupa mengaji terpaku di depan televisi. Ini sebuah fenomena zaman ini. Hiburan gratis yang bisa menyusup kapan saja sampai di kamar-kamar tidur kita. Anak-anak bangun dari tidurnya dan masih penuh belek di matanya sudah mencari-cari remote control untuk memilih filem-filem kesukaannya sendiri. Di sisi lain serbuan hebat legiun asing yakni bacaan impor seperti komik-komik Jepang menggangu kestabilan penjualan buku lokal. Akibatnya aku sempat kehilangan pekerjaan tetap. Jadi kuli serabutan, dagang koran, membimbing belasan anak-anak sekolah jadi pengasong koran di Depok. Pada saat itulah beberapa tulisanku yang dimuat di majalah dan Koran cukup membanggakan hati.

Pernah bergabung dengan Teater Pasar Sore juga Lingkaran Apresiasi Sastra (LAS) Rawamangun. Pada tahun 2002 bersama penyair yang juga wartawan Sinar Harapan, Sihar Ramses Simatupang, Bagus Sidhi Pramudya, Mer Maghdalena, dkk, mendirikan kelompok studi seni, sastra, dan budaya bernama Komunitas Seni Tanah Depok (KSTD) Mempersiapkan pementasan teater untuk menyambut Hari Pahlawan di Kota Depok, namun urung karena tidak memperoleh izin tempat di Walikota. Antologi puisi KEBERANGKATAN menjadi penanda pernah adanya KSTD.

Sempat jadi teman 'ngobrol' Gerson Poyk, yang pada malam-malam dingin dan sepi selalu memberi wejangan dan mantra-mantra untuk membangkit-bangkitkan mayat kematian kreativitasku. Diundangnya Socrates, Nietzsche, Sarte, Mercury, Ronggowarsito, Mao Tze tung, Sukarno, Madam Theresia, Ibu Kita Kartini, untuk membakar semangatku. Lain waktu dibukanya Injil dan Al-Quran, Weda dan Tripitaka. Bangun, Anak Muda! Kematian seperti dirimu dialami oleh semua orang. Masalahnya, tinggal mau atau tidak dirimu hidup kembali!

***